Kritisi Wacana Memaafkan Koruptor, Upaya Pemberantasan Korupsi Rezim Prabowo Lip Service

Table of Contents

JATIM TODAY - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mengkritisi sikap Presiden Prabowo Subianto yang melontarkan wacana untuk memaafkan pelaku korupsi alias koruptor. Upaya pemberantasan korupsi pada rezim Prabowo dinilai hanya omong kosong atau lip service belaka.

Hal itu disampaikan Kepala Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi ICW, Almas Sjafrina menyikapi kondisi kinerja pemberantasan korupsi era pemerintahan Prabowo Subianto.

"Secara signifikan pasca 59 hari Prabowo Subianto dilantik menjadi Presiden. Malah, salah satu program Asta Cita yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi berpotensi hanya akan menjadi lip service belaka, saat Presiden menyampaikan bahwa akan memberikan maaf kepada koruptor ketika bersedia mengembalikan kerugian negara," kata Almas dalam keterangannya, Senin (23/12).

Almas menegaskan, pernyataan Presiden Prabowo mengenai pemberian maaf kepada koruptor tidak sejalan dengan makna kejahatan korupsi, yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa.

"Karena sifatnya yang luar biasa, maka perlu ada upaya luar biasa pula yang wajib dilakukan oleh Pemerintah. Bila tidak, maka upaya memberikan efek jera pada koruptor semakin jauh panggang dari api," tegas Almas.

Aktivis antikorupsi ini menegaskan, pengampunan kepada koruptor dapat dipastikan akan semakin memperburuk kondisi perlawanan terhadap korupsi yang kini telah melemah. Kondisi tersebut jelas juga tak menguntungkan pemerintahan Prabowo Subianto, karena wabah korupsi juga mengancam program-program strategis pemerintah.

"Dalam memberikan efek jera bagi koruptor, Pemerintah patut diduga tidak melakukannya dalam koridor yang luar biasa," ucap Almas.

Ia menekankan, jika pemerintah serius ingin mengoptimalkan pengembalian kerugian yang diakibatkan praktik korupsi, alih-alih memberi pengampunan, pemerintah semestinya segera merealisasikan pengesahan RUU Perampasan Aset yang telah molor sejak 2012 lalu. Sebab, RUU Perampasan Aset patut dilihat juga sebagai upaya pemulihan keuangan negara terhadap kerugian kejahatan ekonomi, termasuk korupsi.

"Jika aturan tersebut disahkan, maka koruptor tidak perlu lagi untuk mengembalikan kerugian negara secara sukarela. Sebab, telah ada mekanisme hukum yang ditempuh agar pengembalian kerugian negara jauh lebih optimal," ujar Almas.

Lebih lanjut, Almas mengutarakan rentetan milestone peristiwa itu semakin menunjukkan bahwa komitmen pemerintah secara sungguh-sungguh menganggap korupsi adalah kejahatan luar biasa tidak disertai penanganan luar biasa.

"Pernyataan pengampunan kepada koruptor juga merupakan suatu bentuk anomali kebijakan melawan korupsi yang juga bertentangan dengan perangkat hukum yang berlaku," cetus Almas.

Oleh karena itu, Kelompok Masyarakat Sipil Antikorupsi, mendesak agar Presiden Prabowo Subianto menghentikan wacana Amnesti Koruptor, karena bertentangan dengan hukum yang sedang berlaku. Presiden harus mengingat sumpahnya, yaitu sumpah untuk menjalankan Undang-Undang, bukan untuk melanggar Undang-Undang.

Serta dapat memfokuskan kinerja untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Perampasan Aset agar para koruptor dapat dimiskinkan dan aset-aset yang didapatkan secara ilegal (illicit enrichment) dan aset-aset yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya (unexplained wealth) dapat dirampas oleh negara.

"Hal ini sejalan dengan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006," urai Almas.

Tak hanya itu, Prabowo juga diharapkan bisa memperkuat KPK dengan mendukung pimpinan KPK baru untuk merekrut secara mandiri para penyelidik dan penyidik independen KPK, agar tidak tergantung pada Kepolisian. Hal itu juga sejalan dengan mengembalikan independensi KPK.

"Mengembalikan independensi KPK seperti semula," pungkasnya.

Sumber: jawapos

Sejasa Net